Jakarta ā Program digitalisasi sekolah yang digagas Kemendikbudristek sempat mendapat pujian karena dianggap membawa angin segar dalam dunia pendidikan. Namun kini, proyek tersebut berubah menjadi sorotan tajam publik setelah muncul dugaan pelanggaran serius dalam pengadaan perangkat Chromebook senilai triliunan rupiah.
Kasus ini bermula dari proyek pengadaan perangkat TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) untuk sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Alih-alih menggunakan perangkat dengan sistem operasi Windows seperti yang direkomendasikan sebagian pihak teknis, proyek ini justru memilih Chromebook dalam jumlah besar.
Menurut informasi yang beredar, nilai total pengadaan mencapai hampir Rp9,9 triliun, dan kini sedang dalam penyelidikan oleh Kejaksaan Agung sejak Mei 2025. Banyak pihak mempertanyakan keputusan ini, terutama karena keterbatasan infrastruktur di berbagai daerah belum siap sepenuhnya untuk mendukung penggunaan Chromebook yang berbasis internet.
“Kenapa Chromebook? Padahal banyak sekolah di pelosok belum memiliki jaringan yang stabil, bahkan listrik pun masih tidak merata,” ujar seorang guru di daerah Kalimantan yang enggan disebutkan namanya.
Selain itu, sejumlah pengamat teknologi menyoroti proses pengadaan yang dianggap tidak transparan dan terkesan terburu-buru. Beberapa pihak menduga bahwa terdapat kepentingan bisnis di balik pemilihan perangkat tersebut.
Sementara itu, dari pihak Kemendikbudristek belum ada pernyataan resmi yang menjawab detail teknis soal pemilihan sistem operasi, vendor penyedia, hingga alokasi perangkat.
Kondisi ini pun menimbulkan kekhawatiran lebih besar: apakah kebijakan teknologi pendidikan selama ini benar-benar berorientasi pada kebutuhan murid dan guru, atau sekadar proyek anggaran berskala besar yang minim pengawasan?
Meski belum ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka, penyidikan terus berjalan. Masyarakat kini menunggu bagaimana kasus ini akan diungkap secara menyeluruh, mengingat besarnya dana publik yang digunakan dan dampaknya terhadap pendidikan nasional.